Kamis, 17 Mei 2012

Waktu dan jam Tangan

Selama di Eropa, saya berkeliling 6 negara : Jerman, Belgia, Belanda, Perancis, Swedia dan Italia dengan menggunakan satu bus dan juga satu sopir. Sopir kami bernama Luther Mateus, persis dengan nama pemain bola nasional Jerman. Kebetulan dia memang penduduk asli Jerman. Perawakannya tinggi besar. Luther sangat komunikatif, juga humoris bahkan kadang terkesan konyol. Suatu saat tiba - tiba dari belakang sopir bus dengan berat badan 160kg ini mengangkat rekan saya, mas Tauhid General Manager Kendari Pos, seperti mengangkat bayi. Tentu saja kami tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian lucu ini. Seakan kita sedang melihat raksasa yang menjinjing korbannya yang akan disantap untuk makan malamnya. Usia sopir ini 49 tahun, namun mungkin karena jiwa humorisnya inilah yang kemudian membuat Bapak dari 5 anak dan kakek dari 3 cucu ini tampak lebih muda dari usianya. Dan di balik jiwa humoris yang kadang terasa konyol, ternyata sopir ini mempunyai banyak hal yang menginspirasi saya. Perjalanan kami dari negara ke negara adalah perjalanan darat yang cukup panjang. Salah satunya perjalanan dari Amsterdam ke Paris yang membutuhkan waktu tujuh jam lamanya. Perjalanan yang secara teoritis membutuhkan waktu 7 jam ini sering kali harus molor. Hal ini disebabkan aturan pemerintah Jerman yang memberikan waktu maksimal untuk menyetir bus hanya 2 jam. Tak satu pun sopir Jerman yang berani melanggarnya. Maka setiap dua jam kami harus istirahat 5-15 menit. Pada saat istirahat itu saya sering berdialog dengannya tentang berbagai hal. Salah satunya adalah tentang penghargaan kita pada waktu. Tiap menit bagi orang Jerman sangatlah berharga, karena setiap saat bagi mereka harus dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu. Kondisi alam yang hanya memberikan waktu yang benar-benar produktif di tiga per empat tahun membuat mereka berpacu agar tetap terus bertahan. Mereka tidak boleh bermalas malasan agar tetap bisa terus hidup. Petani harus mengatur waktunya sebaik mungkin, kapan tanam dan kapan panen. Telat sedikit maka akan kehilangan waktu dan hasil panen tidak maksimal, atau bahkan gagal. Pekerja dan para pelajar harus memanfaatkan waktunya sebaik mungkin, karena pada saat musim salju tiba sangat mungkin kondisi alam memburuk dan otoritas kota akan mengumumkan larangan beraktifitas ke luar rumah. Ada hal yang sangat menarik dan mungkin tidak akan saya lupakan sepanjang hidup saya. Saat kami berada di Swiss rombongan kami diberi kesempatan untuk keluar berbelanja jam tangan yang memang menjadi produk andalan Swiss. Berbagai merk ternama seperti Swatch dan Rolex diproduksi di Swiss dengan harga bisa mencapai satu milyar jika dikurskan di rupiah. Semua terkesima dengan desain dan bahan jam tangan yang begitu mewahnya. Ada yang berlapis emas, perak dan bertabur intan berlian. Ketika kami sedang begitu antusias untuk memilih - milih jam tangan untuk oleh-oleh keluarga di tanah air, Luther si sopir Jerman ini tersenyum sambil berbisik kepada saya dengan bahasa Inggris yang sedikit terbata-bata,"Sebenarnya yang lebih penting adalah bagaimana kalian bisa menghargai waktu, bukan menghargai jam tangan !"

Pameran Sebagai Penggiat Ekonomi

Jerman adalah tempat lahir industri percetakan. Demikian kuatnya kesan itu, karena tokoh ilmuwan penemu teknologi percetakan bernama J. Guttenberg berasal dari Jerman. Bahkan sampai sekarang dan seterusnya seluruh pelaku bisnis percetakan dunia mempunyai event bersama yang diadakan empat tahun sekali di Jerman. Event ini bernama Drupa (Druct und Pepier Messe). Drupa ini tergolong event yang tua. Tahun ini adalah penyelenggaraan Drupa yang ke lima belas. Artinya, Drupa sudah berumur 60 tahun. Setiap masa penyelenggaraan Drupa selalu mengusung tema-tema terbaru di dunia percetakan. Dan kali ini Drupa 2012 mengusung tema teknologi cetak digital. Berbagai mesin dan teknologi terbaru dipamerkan di Dusseldorf Messe ini. Sebanyak 1850 peserta pameran yang teridiri dari produsen mesin cetak dan semua produsen perlengkapan yang berhubungan dengan percetakan memamerkan produknya di area seluas 32,6 hektar yang terdiri dari 22,6 hektar ruang tertutup dan 10 hektar ruang terbuka. Infrastruktur pendukung arena pameran sangat lengkap. Sejak awal masuk sentuhan teknologi canggih sudah sangat terasa. Setiap tiket masuk sudah ada barcode tiga dimensi. Para pengunjung pameran cukup tunjukkan tiket di alat pemindai dan secara otomatis akan tanda identitas pengunjung. Tidak ada lagi orang yang sibuk jadi penjaga tiket, tidak ada lagi yang kelabakan ketik dan cetak kartu, tidak ada lagi antrian panjang menunggu lamanya administrasi. Padahal di Drupa 2012 ini diperkirakan mencapai 350.000 pengunjung yang berasal dari berbagai negara. Fasilitas toilet yang pasti dibutuhkan semua orang juga selalu ada di setiap hall dalam kondisi bersih tanpa bau pesing dan ... tanpa bayar! Area pameran dibagi menjadi 19 hall yang terpisah satu dengan yang lain. Di antara hall yang terpisah terdapat lorong penghubung yang memungkinkan pengunjung pameran bergerak dari satu hall ke hall yang lain tanpa takut hujan ataupun dinginnya udara Eropa. Selain itu disediakan transportasi gratis berupa bus yang berkeliling siap mengantar para pengunjung di seluruh area Dusseldorf Messe. Semua fasilitas disediakan untuk memanjakan para pengunjung pameran. Dari semua stand pameran, yang paling besar adalah stand milik Heidelberg, produsen mesin cetak terbesar dari Jerman. Heidelberg memang telah lama menjadi barometer teknologi percetakan dunia. Bahkan di Drupa ini terkesan yang punya gawe adalah Heidelberg. Karena itu saat percetakan kami berencana untuk investasi, saya dengan tegas sampaikan harus menggunakan mesin Heidelberg. Karena selain kualitas cetak yang prima, ketahanan dan kekuatan mesin juga sangat dapat diandalkan. Inilah kekuatan media pameran. Pameran merupakan alat promosi yang langsung menyentuh kepada para pengguna. Sekian ribu bahkan mungkin jutaan transaksi bisa terjadi di event pameran. Pada saat pameran Drupa, semua biro travel, hotel dan restaurant di kota Dusseldorf telah 'full booked' oleh para peserta maupun pengunjung pameran dari dalam maupun luar Jerman. Tempat-tempat wisata dan pusat perbelanjaan pun kebanjiran pendatang limpahan dari pameran. Semua orang dari seluruh penjuru dunia berbelanja, bertransaksi dan habiskan uang di Dusseldorf, Kota Pameran Jerman. Roda perekonomian Dusseldorf dan sekitarnya pun berputar. Dan asal anda tahu, Dusseldorf Messe ini selalu penuh dengan agenda pameran. Setelah pameran Drupa, akan segera menyusul pameran-pameran yang lain. Minimal 2 jenis pameran per bulan!

Le President (Sang Presiden)

Tepat saat saya sampai di Paris, masyarakat Perancis sedang berbahagia merayakan terpilihnya Presiden baru Perancis, Francois Hollande. Sosok Francois Hollande di mata rakyat Perancis adalah sosok bangsawan yang mempunyai karakter santun tapi tegas, selalu hati-hati dan taktis dalam bersikap. Karakter Hollande ini memberikan sesuatu yang sangat berbeda dengan sosok presiden sebelumnya, Nicolas Sarkozi. Rupanya banyak rakyat Perancis yang mulai risih dengan karakter incumbent presiden sebelumnya yang nyentrik itu. Kemenangan Hollande ini sudah diprediksi sebelumnya. Sehari sebelum pemilihan salah satu media cetak di Perancis sudah menggambarkan gambar kartun Hollande yang sedang berlari jauh di depan Sarkozy yang sedang terengah-engah di belakang. Terlihat sekali bahwa rakyat Perancis mempunyai harapan besar Presiden baru ini dapat lebih memajukan Perancis. Untuk menyambut terpilihnya presiden baru itu dibuatlah event perayaan di bundaran Gapura Kemenangan Perancis, Arc de Triomphe. Tribun perayaan digelar rapi mengelilingi boulevard di sekitar Arc de Triomphe. Sound system dan lampu-lampu sorot dipasang untuk persiapan perayaan. Bunga-bunga diatur sedemikian rupa sehingga tampak indah dan elegan. Di sisi lain, para wisatawan dari berbagai penjuru dunia tetap enjoy tanpa merasa terganggu dengan adanya persiapan perayaan terpilihnya presiden baru. Tidak ada pawai kemenangan, tidak ada demo penolakan, tidak ada pengerahan keamanan, juga tidak ada penutupan jalan. Penjaga toko tetap bekerja dan tersenyum ramah mempersilahkan calon pembeli di tokonya yang tetap buka seperti biasa. Tukang becak Perancis tetap mengayuh becak modernnya menawarkan jasa dan mengantar wisatawan berkeliling kota. Cafe pinggir jalan masih membuka tendanya yang tertata rapi dan terjaga kebersihannya untuk para penikmat kuliner seperti saya ini. Semua berjalan seperti apa adanya. Semua tetap beraktifitas seperti kesehariannya. Saya sempat berdialog sebentar dengan sopir bus pariwisata yang parkir di sekitar menara Eifel. Sopir bus ini menyampaikan bahwa pemilihan presiden sudah selesai dengan terpilihnya Hollande sebagai Presiden Perancis. Kini saatnya mereka memberi kesempatan kepada presiden terpilih untuk bekerja. Memang diakui bahwa kedewasaan berpolitik masyarakat Perancis sangatlah tinggi. Perjalanan kehidupan demokratisasi Perancis sudah dimulai sejak Revolusi Perancis pada tahun 1789-1799M. Artinya demokratisasi Perancis sudah berusia tiga abad. Karena itu pemilihan presiden sebagai salah satu wujud demokratisasi adalah kegiatan yang sangat biasa bagi rakyat Perancis. Walau mereka sedang bersuka cita, namun tidak terlihat euforia yang berlebihan. Suasana Kota Paris saat itu seakan sedang mengatakan, siapa pun presidennya Kota Paris tetap harus terus 'berputar'. Kerja kerja kerja !

Teknologi Hijau

Hamparan lahan pertanian terlihat begitu luas dan tertata rapi, kotak-kotak seperti lukisan beraliran kubis. Ada yang berwarna hijau matang, hijau muda dan ada pula yg berwarna coklat kemerahan. Sempat saya bertanya-tanya, apa gerangan jenis tanaman yg tumbuh subur di luasnya lahan pertanian Jerman ini. Pertanyaan itu baru terjawab ketika saya menyusuri jalan antar negara dari Jerman ke Belanda. Ternyata hamparan luas pertanian Jerman yg terlihat hijau tua adalah tanaman gandum. Area berwarna hijau muda akekuning kuningan dalah area pertanian untuk tanaman Rapps. Sedangkan area berwarna adalah area pertanian kosong yang baru saja dipanen. Tanaman Rapps ini adalah tanaman yang biasanya dikonsumsi untuk salad. Dan sekarang, tanaman tersebut dijadikan komoditas bahan dasar bio diesel. Sekitar 70% biodiesel dihasilkan dari tanaman Rapp ini. Melihat besarnya lahan yang dipakai untuk pertanian tanaman rapps ini kita dapat simpulkan bahwa Jerman sangat serius memperhatikan konservasi energynya. Dilihat dari hamparan luas pertanian tanaman rapp ini, sangat jelas terlihat bahwa Jerman sedang mempersiapkan agenda besar untuk tidak lagi bergantung kepada sumber energi minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui itu. Dilihat dari hamparan luas pertanian tanaman rapps itu, sangat jelas terlihat bahwa pertanian adalah salah satu tekhnologi yang jadi andalan Jerman, selain tekhnologi permesinan dan informasi. Mindset saya sebelumnya bahwa teknologi maju selalu berbicara tentang komputerisasi dan semua hal yang berhubungan dengan otomatisasi saat ini benar-benar porak poranda, runtuh melihat keseriusan Jerman dalam pengelolaan bidang pertanian. Pikiran dan hati saya pun jadi lompat tertuju akan betapa besar potensi pertanian kita. Didukung dengan alam yang lebih luas dan lebih subur, tentunya negara kita lebih besar peluang keberhasilannya daripada Jerman. Lembaga pendidikan dan penelitian bioteknologi pun tidak kalah banyak dan ahlinya meneliti tentang pemanfaatan teknologi pertanian kita. Berbagai jenis varietas tanaman sumber bio energy seperti kelapa sawit sampai biji jarak ada di Indonesia. Tuhan Yang Maha Pemurah telah memberikan semua potensi itu kepada negeri kita. Kini semua kembali kepada kita sendiri. Akan bersyukur dengan serius dan fokus mengelolanya, atau semua hanya jadi kebanggaan yang lewat begitu saja tanpa memberikan manfaat nyata. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan engkau ingkari ?

Sehari Hidup di Tiga Negara

Setibanya kami dari ‘Penerbangan dengan Visi Besar’ (silahkan baca email saya edisi kemarin) dari Jakarta-Dhubai dan Dhubai-Franfurt, kami mendarat pada pagi hari di Franfurt. Di jerman saat ini sedang memasuki musim semi, sehingga suhu udara di sini relative lebih bersahabat bagi ‘reng Jember’ seperti saya ini. Termometer digital bandara Franfurt menunjukkan bahwa suhu berada pada angka 9 derajat Celcius. Masih terasa dingin, bikin mulut selalu ‘berasap’ ketika berbicara, namun ini jauh masih lebih bersahabat. Bayangkan saja, sebelumnya saat musim salju tiba suhu di Eropa bisa sampai lima derajat di bawah nol derajat celcius! Dalam suhu 9oC tersebut kami sudah merasa nyaman dengan bantuan sarapan pagi di Frankfurt berupa sandwich ala Perancis dan secangkir cappuccino hangat. Bahkan bagi saya yang kebetulan terlalu percaya diri tidak membawa jaket pun masih nyaman saja dengan kondisi itu. Dalam perjalanan ini, kami menggunakan event organizer yang terdiri dari anak2 muda Indonesia lulusan Jerman yang energik dan kreatif. Bagi mereka penerbangan Jakarta – Frankfurt selama 18 jam tidak jadi penghambat mereka untuk terus mempimpin perjalanan ini. Mereka selalu memberikan jawaban dan informasi yang sangat kami butuhkan. Melihat semangat EO yang seperti ini, saya pun terpengaruh jadi lebih semangat lagi. Selesai sarapan di Frankfurt Jerman, kami segera naik bus untuk langsung berjalan ke arah Belgia, tepatnya di kota Brussel. Untuk menuju ke Belgia, saya bersama anggota tour menyusuri jalan antar negara sepanjang kurang lebih 320km. Selama perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang sangat di luar gambaran sebelumnya. Dalam perjalanan dari Jerman ke Belgia, anggapan saya tentang Negara Eropa jadi berubah drastis. Yang tadinya saya beranggapan bahwa Negara Eropa adalah Negara yang modern, kanan kiri terdapat gedung pencakar langit, sana – sini lahan tertutup aspal, macet, udara penuh asap kendaraan, dan sekian banyak mindset negatif ala kota-kota modern lainnya. Namun begitu saya melihat sendiri, ternyata semua itu tidak sepenuhnya benar. Negara Eropa yang saya kunjungi ternyata sangat perhatian dengan masalah konservasi alamnya. Modernitas system tidaklah membuat mereka jadi mengesampingkan keseimbangan alam. Hal ini sudah saya rasakan berawal dari saat sebelum mendarat di Frankfurt ketika saya dari atas melihat ke bawah ladang pertanian yang begitu luas dan tertata rapi. Sesampai di Brussel, tepat saatnya makan siang, kami langsung menuju rumah makan masakan Indonesia. Namanya 'Garuda' Restaurant. Sesuai dengan namanya, kami mendapatkan suguhan masakan yang sangat bercita rasa Indonesia. Nasi urap, rendang ayam, telor bumbu Bali, sambal bajak lengkap dengan kerupuk udang dan emping belinjo sangatlah familier dengan lidah kami. Baju seragam batik yang dikenakan seluruh karyawan restauran, hiasan dinding dari Bali dan sayup sayup lantunan musik gamelan membuat kami seakan berada di negeri sendiri. Restauran ini dikelola oleh orang Belgia yang merekrut koki dari Indonesia, asli orang Gegerkalong, Bandung. Ini mungkin jawaban mengapa cita rasa masakan di restaurant ini sangat Indonesia. Selesai makan siang, kami menuju Amsterdam untuk istirahat malam. Perjalanan dari Brussel ke Amsterdam ditempuh dalam waktu 2,5jam. Cuaca di Amsterdam tidak berbeda dengan Franfurt maupun Brussel. Hanya anehnya walau jam sudah menunjukkan 20.30 saat Amsterdam, suasana seperti masih sore di mana cahaya matahari tetap menerangi. Masih banyak terlihat anak-anak Amsterdam bermain di luar. Sesampai di Amsterdam, kami menuju Novotel untuk istirahat dan makan malam. Lengkap sudah perjalanan kami. Dalam satu hari, kami hidup di tiga negara. Sarapan di Franfurt, Jerman, makan siang di Brussel Belgia, makan malam dan istirahat malam di Amsterdam Belanda tanpa ada kendala sedikit pun. Dalam benak saya, bagaimana konsep Uni Eropa ini bisa dedesain begitu rapinya, sehingga seakan mereka ini satu negara? Bagaimana cara mereka menyatukan sekian banyak perbedaan dan ego kebangsaannya? Masyarakat Eropa yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda-beda, dibatasi oleh perbatasan negara bisa bersatu dalam Uni Eropa untuk kejayaan bersama. Bagaimana dengan kita? Wilayah Tapal Kuda Jawa Timur adalah wilayah yang gemah ripah loh jinawi, dengan budaya dan alam yang begitu indahnya. Alangkah indahnya jika dari keenam Kabupaten yang ada (Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi) duduk bersama bersinergy untuk maju bersama. Suatu saat nanti orang akan datang sarapan di Probolinggo, beli oleh2 snack keripik pisang di Lumajang, berwisata di Papuma Jember, makan siang di Bondowoso, lanjut wisata ke Baluran Situbondo, dan makan malam dan beristirahat di Banyuwangi. Mungkinkah ?

Terbang bersama Visi Besar

Untuk menuju Jerman, rombongan kami berangkat bersama dari Badara Soeta Jakarta dengan pesawat dari maskapai internasional Etihad. Penerbangan yang cukup lama, yaitu 7 jam dari Jakarta-Abu Dhabi kemudian dilanjut 8 jam Abu Dhabi - Frankfurt membuat saya jadi sangat tertarik dengan sosok maskapai ini. Maskapai Etihad adalah maskapai milik Uni Emirat Arab yang pernah mencatatkan sejarah pada tahun 2004 di Farnborough Air Show dengan pemesanan terbesar sebanyak 29 Airbus and Boeing Aircraft dengan total nominal sebesar 8 milyar US Dolar. Untuk tetap mengimbangi cepatnya pertumbuhan bisnis jasa penerbangan, Etihad memesan 55 Airbus dan 45 pesawat Boeing pada tahun 2008 di Farnborough Internatinal Airshow. Kini Etihad terus konsisten dengan pelayanan kelas dunia dengan didukung kekuatan armada pesawat A319, A320,A330-200, A340-500 dan B777-300 ER, Etihad terus mewujudkan visi “From Abu Dhabi to the world”, Dari Abu Dhabi untuk Dunia. Dengan kru penerbangan yang berasal dari SDM yang multikultur dan multi ras, mereka seakan telah memploklamirkan diri sebagai penerbangan milik dunia yang berawal dari Abu Dhabi. Dengan adanya maskapai ini, Abu Dhabi kini menjadi kota tujuan seluruh penduduk dunia. Setiap perjalanan dari Asia menuju Eropa dan juga sebaliknya, Etihad dapat menjadi alat penghubung. Seakan Etihad telah berfungsi sebagai magnet sehingga para penumpangnya yang berasal dari berbagai Negara ‘dipaksa’ dengan suka cita untuk singgah di Abu Dhabi. Tidak cukup dengan maskapainya saja, namun pemerintahan Abu Dhabi pun serius berbenah memantaskan diri sebagai kota pusat tujuan dunia. Karena mereka berkeyakinan bahwa semakin banyak orang yang singgah, maka perputaran perekonomian juga akan berputar di tempat mereka. Visi memang ruh dari sebuah pergerakan. Dengan visi yang jelas, maka Etihad dapat menghantarkan Abu Dhabi sebagai kota yang pantas untuk menjadi pusat transit Internasional. Sebuah visi yang luar biasa dari Etihad ini mengingatkan kepada sahabat saya, mas Dynand Fariz, yang pernah menyampaikan visi JFC, “Dari Jember Untuk Dunia”. Akankah JFC juga dapat menjadi magnet yang dimiliki Kabupaten Jember untuk menarik kaum pendatang dari dalam dan luar negeri ? Seperti halnya Etihad dan pemerintahan Abu Dhabi, tentu JFC dan dengan dukungan seluruh komponen masyarakat Jember sangatlah mungkin mewujudkan visi besar itu. Semoga.

Dari Jember ke Jerman (Radar Jember 3Mei2012)

Sebulan yang lalu saya mendapatkan tugas dari perusahaan untuk berangkat ke Jerman, dalam rangka menghadiri perhalatan internasional, Drupa Print Media Messe 2012. Event Drupa ini adalah perhelatan bidang percetakan tingkat internasional yang diadakan setiap empat tahun sekali di kota Duesseldorf, Jerman. Semua penggiat bisnis dan pemerhati teknologi percetakan dunia akan 'tumplek bleg', berkumpul semua di event Drupa ini. Selama seminggu di Jerman, saya akan memberikan reportase di Radar Jember sebagai bentuk berbagi pengalaman dan bagian dari wujud semangat belajar yang tak pernah ada batasnya, baik dari batasan waktu maupun batasan geografis. Sebelum menyampaikan reportase tentang Drupa, pada reportase pertama ini saya akan mengawali artikel tentang gambaran singkat negeri Panser, Jerman. Negeri Jerman sebenarnya adalah negeri budaya. Di sanalah terlahir penulis, artis dan pemusik - pemusik terkenal dunia seperti Goethe, Bach dan Beethoven. Namun Jerman seakan tidak terlihat sebagai negeri budaya. Hal ini karena sejak era Kaisar Wilhelm pada akhir abad ke-19, kebudayaan Jerman yang maju itu dianggap sebagai bentuk keangkuhan. Bahkan keruntuhan NAZI (Nazionalis yang mengajarkan nasionalis yang ekstrim itu semakin menyadarkan orang bahwa Jerman hanya dapat kembali ke komunitas bangsa sedunia apabila dihindarinya kesan adanya semangat budaya nasional yang berlebihan. Akhirnya, pada saat pendirian Republik Federal Jerman tahun menyerahkan kewenangan budaya kepada negara bagian. Pada saat ini budaya berkembang di masing - masing negara bagian. Situasi ini berkembang terus hingga akhir abad 20 Masehi. Baru sejak tahun 1999 Kekanseliran Federal Jerman membentuk kembali menteri negara kebudayaan dan media pada. Sejak waktu itu ada satu dan lain urusan budaya yang kembali dianggap sebagai hal yang menyangkut seluruh bangsa. Sejak saat itu Berlin menjadi magnet budaya, tempat berkumpulnya sekian banyak budaya yang berbeda-beda dari berbagai negara bagian. Kini kehidupan budaya di Jerman terus berkembang setelah bangun dari tidurnya. Tercatat sekitar 300 teater tetap dan 130 orkes profesional antara Flensburg di utara dan Garmisch di Se¬latan. 630 museum seni rupa dengan koleksi serbaneka yang bertaraf internasional dan membentuk jaringan museum yang unik. Seni lukis muda juga sangat hidup di Jerman dan telah mendapat tempat di dunia internasional. Jerman juga tergolong negara perbukuan yang besar , dengan sekitar 94.000 judul buku baru yang diterbitkan atau dicetak ulang tiap tahun. Di sana terdapat 350 judul surat kabar harian dan ribuan judul majalah membuktikan perkembangan dunia media yang baik. Secara mengesankan Jerman sekarang telah membuktikan bahwa politik ke¬budayaan nasional telah menjadi kebutuhan pada abad ke-21. Di lain pihak, federalisme kebudayaan membangkitkan ambisi negara bagian. Politik kebudayaan memajukan lingkungan setempat. Hmmmm.... Negeri modern yang indah, yang tetap mempertahankan budaya yang menjadi kebanggaannya. Bagaimana dengan kita ?