Minggu, 15 April 2012

Mati gaya

Ketika saya membaca berita di internet, seringkali saya lebih senang membaca komentar-komentar dari para pembaca atas berita yang ditayangkan. Perasaan saya terasa diaduk aduk dibuatnya. Kadang saya jadi tersenyum, tertawa lepas, muangkel, gemes dan jengkel. Ini menggambarkan begitu heterogennya bangsa ini. Demikian juga ketika membaca berita tentang tokoh 'kontroversial' saat ini, Mentri BUMN, Dahlan Iskan (DIS). Banyak yang mengelu-elukan sosok DIS, dan tentu juga banyak yang sinis bahkan mencaci maki tokoh kontroversial ini. Saya menganggap semua itu adalah sebuah keseimbangan yang akan selalu ada. Terlepas dari dukung mendukung, pro - kontra dan segala macam hal yang sejenis itu, saya ada pengalaman yang tidak pernah terlupakan bersama sosok DIS. Saya ingin bercerita dari sisi leadership seorang pimpinan. Sebuah pengalaman yang sangat inspiratif yang layak untuk saya share di blog saya ini. DIS bagi karyawan di perusahaan kami memang mengesankan sosok yang sangat disegani. Tidak semua karyawan bisa berlama-lama bersama DIS. Mobilitas beliau sangat tinggi, sehingga tidak satu pun karyawan yang bisa mengikuti gerak cepatnya. Pertanyaan-pertanyaan beliau selalu langsung menusuk pada inti permasalahan, dan jangan coba-coba anda menjawab pertanyaannya dengan sekenanya. Jika itu dilakukan, maka pasti anda akan dicecar pertanyaan lanjutannya hingga beliau merasa jawaban anda sudah dan runtut logikanya. Suatu saat, percetakan tempat saya bekerja sedang membangun gedung kantor baru. Sosok Sebagai seorang CEO, DIS saat itu sering sekali hadir, nyambangi kantor yang sedang dibangun itu. Saya dan rekan-rekan senior di kantor tahu bahwa mobil jaguar sang CEO memasuki kantor, dan biasanya DIS segera keliling melihat kondisi seluruh area percetakan. Saat itu tidak satu pun karyawan yang mau mendampingi DIS berkeliling melihat proyek pembangunan kantor. Bahkan akhirnya justru senior-senior memaksa saya untuk mendampingi DIS. Akhirnya saya pun mendampingi DIS berkeliling area percetakan. Selama berkeliling are percetakan, kami berbincang tentang banyak hal di kantor. Terkadang beliau juga menanyakan ide-ide saya tentang pekerjaan dan lingkungan tempat kami bekerja. Terasa sekali beliau ini sosok leader yang demokratis, yang membuka lebar-lebar ide dari semua karyawan tanpa melihat jabatan dan senioritas. Setelah berkeliling, kami berdua sampai samping gedung percetakan. Di sana beliau melihat selokan yang sedang buntu karena tersumpal sampah cetak. Melihat selokan buntu itu, beliau memerintahkan tukang bangunan yang ada di dekatnya. DIS meminta agara tukang bangunan itu berhenti sejenak menyusun batu bata untuk kemudian mengambil cangkul dan mengangkat sampah-sampah yang menyumbat selokan. Namun karena si tukang bangunan ini tidak mengerti siapa yang sedangg memerintahkan, maka dia pun hanya melirik DIS tapi tetap tidak beranjak dari pekerjaan yang sedang dilakukannya. Dengan bahasa Jawa halus, permitaan DIS kepada tukang itu diulangi lagi. Namun dengan sikap yang acuh tak acuh si tukang hanya berdiam diri, tidak mengindahkan permintaan DIS. Melihat sikap itu, DIS tidak marah dan segera ambil HP untuk memanggil sopir pribadinya. Tak lama mobil jaguar datang menghampiri pemiliknya. Semua kaget melihat kedatangan mobil ini. Dan rasa kaget itu semakin besar ketika DIS membuka bagasi dan mengambil topi kebesarannya, Caping! Sepatu kets kesayangannya dia lepas, diganti dengan sandal jepit. Setelah melinting celana panjangnya, DIS segera ambil cangkul dan mencangkul sampah yang menyumbat selokan! Dari cara memegang cangkul, terlihat sekali bahwa beliau sangat terbiasa menggunakan alat ini. Pegangannya kuat, pas dan terlihat nyaman. Sebuah pemandangan yang sungguh aneh yang ditunjukkan oleh seorang CEO! Lalu bagaimana dengan saya ? Saya hanya bisa melongo koyo bedes ketulup, bingung dan mati gaya! Gak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa refleks, saya cincing juga celana panjang saya dan melepas sepatu pantofel saya. Akhirnya saya lakukan apa yang memang bisa saya lakukan. Yang jelas bukan meniru mengambil cangkul, karena jujur saja saya tidak terbiasa memegang cangkul. Hadeehhh..... Lalu pesannya apa ? Dari kejadian itu, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya apa yang kita dengar, baca dan lihat tentang spontanitas sosok DIS adalah memang sudah gawan bayi! Sikap DIS yang kita lihat bersama itu sudah bawaan orok, bukan wujud dari sikap pengen cari sensasi, popularitas, pencitraan dan lain sebagainya. Sejak dulu, jauh sebelum beliau menjadi mentri memang sudah seperti itu kebiasaannya. Cekatan, tangkas, gila kerja, egaliter, tidak mau terbebani dengan jabatan ! Sikap semacam itu sudah sangat biasa di lingkungan perusahaan kami. Sungguh ironis sekali, ketika ternyata bangsa ini pun masih belum PeDe dan tidak percaya ketika ada juga sosok pemimpin yang baik dan pekerja keras seperti DIS ini. Bagaimana dengan anda ?

Rabu, 04 April 2012

Elegi Toilet Pagi Hari

Dalam suatu kesempatan, saya singgah di rumah seorang rekan saya di Surabaya. Saya bersama bdberapa rekan berniat untuk 'terbang' ke Jakarta dalam rangka menghadiri suatu acara. Kami telah sampai di Surabaya sejak jam 02.00WIB, sedangkan jadwal penerbangan kami adalah jam 10.00WIB.

Singkat cerita, kami masih mempunyai waktu cukup untuk beristirahat sebentar di rumah rekan kami tersebut. Dari sekian kamar, saya mendapat jatah satu kamar dengan sahabat saya, Agus Susanto seorang pengusaha Alat Musik yang juga lulusan sekolah Theologi.

Seperti biasa, kami selalu berbicara 'ngalor-ngidul' berdiskusi tentang segala hal. Niat awal mau istirahat jadi gagal total karena kami diskusi sampai saat Adzan Subuh tiba.
Saat subuh saya tunaikan shalat, rekan saya sekamar itu di toilet untuk buang hajat sekaligus mandi pagi. Sejak saya belum subuhan, rekan saya itu sudah masuk toilet. Namun entah mengapa dia sangat 'betah' berlama-lama di toilet itu. Sampai saya selesai shalat subuh ternyata dia masih 'sibuk' di toilet. Hari semakin terang, dan saya yang menunggu giliran ke toilet juga semakin tidak sabar 'menanti saatnya tiba', dapat giliran masuk toilet.

Hingga akhirnya rekan saya keluar dari toilet setelah berlama-lama di dalam toilet. Kata-kata yang keluar saat keluar dari toilet adalah "WC-nya rusak!".
Saat itu saya tidak begitu hiraukan, karena dalam pikiran saya adalah harus secepatnya masuk toilet!

Sesampai di toilet, saya memang lihat kerusakan di unit penyiraman. Melihat seperti itu, segera saya cari cara untuk membenahinya. Saya atur baut pelampung, dan akhirnya bisa normal kembali. Tidak ada 5 menit saya sudah selesai benahi system penyiraman WC itu.

Karena saya berhasil segera perbaiki toilet, maka segera saya bisa mandi. Jika rekan saya tadi mungkin ada satu jam di dalam toilet, maka saya hanya butuh waktu tidak lebih dari 20 menit!

Begitu saya keluar dari toilet, rekan saya langsung menyampaikan pertanyaan,"Kok cepat? Bukannya WCnya rusak??"
Dengan bangga saya jawab,"Itulah bedanya antara sarjana Teknik dan sarjana Theologi!"
"Kalo sarjana teknik, lihat sesuatu rusak langsung turun TANGANI perbaikan. Beda dengan sarjana Theologi. Jika ada yang rusak, maka yang bisa dilakukan sarjana Theologi hanyalah BERDOA saja agar yang rusak segera baik!"

Mendengar kritikan saya itu, rekan saya yang lulusan Theologi itu pun hanya bisa tertawa terbahak-bahak (menertawakan diri sendiri kali ya....??). Dan saya pun merasa bangga, 'menang' satu set dengan rekan saya itu. Saat keluar kamar, saya ceritakan kejadian pagi itu kepada rekan yang lain. Awalnya rekan-rekan saya tertawa mendengar cerita itu. Namun salah satu dari rekan kami menyampaikan pendapatnya kepada saya,"Hai mas Taufik, jangan puas diri dulu, jangan sombong dulu.... Yang membuat toilet itu akhirnya berfungsi dengan baik bukanlah sampean saja! Karena pada dasarnya apa yang telah terjadi itu adalah hasil dari doa teman sekamarmu itu. Karena ada temanmulah, akhirnya Tuhan mengutus sarjana teknik sepertimu untuk memperbaiki toilet!!"

Hehehe.... mungkin juga ya?


Surabaya, 8 Feb 2012