Selasa, 10 November 2009

Korupsi, Riwayatmu Dulu


Saat tulisan ini saya bikin (dan semoga tulisan ini bisa abadi sampai kapan pun... Amien) sebagian besar bangsa Indonesia sedang hangat-hangatnya memperbincangkan perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus ini semakin menarik karena ternyata bergerak seperti bola salju yang menggeliding tambah lama tambah besar dengan menyeret berbagai pihak.

Perseteruan ini populer dengan istilah perseteruan Cicak VS Buaya. Cicak mewakili KPK, sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan diwakili oleh saudara tua cicak yang lebih besar dan ganas : Buaya. Entah darimana dan atas logika apa perumpamaan ini muncul, yang jelas perumpamaan ini paling tidak bisa menyederhanakan gambaran suasana perseteruan yang memang sedang seru serunya ini.

Hari ini Oplagh koran semakin merangkak naik. Acara infotainment yang menempati rating tertinggi di negeri ini semakin tergeser oleh acara berita. Bahkan acara infotainment itu sendiri berisi tentang perseteruan para pejabat itu. Mungkin karena para pejabat itu sudah sama ngetopnya kayak selebritis...

Hari ini BHD, Bibit-Chandra, Bang Buyung dan Mahfud MD, terlihat lebih seksi daripada Luna Maya dan Julia Perez... hehehe...

Para mahasiswa, aktivis, LSM, dan semua lapisan ikut turun ke jalan meneriakkan suara anti korupsi. Bahkan para artis pun turut memberi warna tersendiri dalam aksi ini dengan ikutan turun ke jalan meneriakkan anti korupsi.
Sempat muncul pemikiran nakal saya, "Mungkin artis-artis kita semakin sadar bahwa media berita politik sekarang lebih efektif melonjakkan level popularitas mereka daripada menggunakan berita infotainment.... Lebih kelihatan intelek, pasti ditayangkan oleh media masa, dan keluar dari kebiasaan yang selama ini hanya berkutat di sekitaran Pengadilan Agama.... hehehe..."

Seperti biasa, saya mencoba out of box untuk tidak menilai siapa yang salah... Karena seperti semangat dalam blog ini, bahwa pada dasarnya semua yang ada di dunia ini adalah Suwung... Nol...

Biarlah orang lain yang membahasnya di forum forum dialog di TV dan radio atau kolom kolom di koran dan majalah. Saya hanya mencoba untuk melihat dari sudut yang lain, dari sisi ilmu pengetahuan saja. Sebenarnya seberapa kuat korupsi ini sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini.

Kebetulan saya sedang membaca buku tentang korupsi, yang kebetulan (lagi) diterbitkan oleh penerbit tempat saya dapat job tambahan. Buku itu sangat menarik, karena menuliskan tentang praktek korupsi dari masa ke masa di bangsa ini.

Sejarah bangsa ini yang berdarah-darah akibat perebutan wilayah, kekuasaan dan wanita, tentu tersisip di dalamnya permasalahan harta benda. Namun karena tidak adanya catatan sejarah yang mengarah kepada permasalahan ekonomi, kasus korup ini tidak terkuak secara gamblang.

Kasus korupsi ini 'baru' tercatat dengan gamblang sejak jaman VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Dalam tulisan berjudul The Ideal of Power in Javanese Culture, Benedict Anderson (1972) menyatakan bahwa VOC pada saat itu runtuh karena adanya persekongkolan dan nuansa korup yang sangat kuat. Sampai-sampai pada tahun 1799, VOC sempat diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie yang artinya Runtuh Karena Korupsi. (fenomena plesetan pun juga sudah ada sejak dulu... hehehe).

Pernyataan Anderson tersebut, tidaklah berlebihan, karena tercatat dalam sejarah bahwa pada paruh kedua abad XVIII, VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Ini terjadi karena timpangnya gaji yang diterima oleh para pegawai VOC dibanding para pejabat VOC. Banyak pegawai VOC yang akhirnya bekerjasama perdagangan dengan para pedagang India, Portugis dan Perancis. Bahkan kegiatan kerjasama ini menjadi lebih utama dibanding pekerjaan di VOC itu sendiri.

Dalam sebuah berita yang diterbitkan di London tahun 1743, A Description of Holland, or the Present State of the United Provinces, dilaporkan bahwa pada saat itu banyak terjadi kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan... (ternyata kasus tenggelamnya kapal karena kelebihan muatan sudah ada sejak nenek moyang kita dulu! hiks..)

Setelah system monopoli dinilai korup, maka pemerintahan Hindia Belanda mengubah pola perekonomiannya dengan system tanam paksa (1830-1870). Pada jaman itu tanam paksa mengharuskan rakyat menanam 1/3 lahannya untuk tanaman wajib seprti kopi, cengkeh, teh, nila, dll. Namun prakteknya kepala desa, demang, camat, bupati yang bertanggungjawab mengawasi tanam paksa ini memaksakan rakyat untuk menanami 2/3 lahannya untuk tanaman tanaman wajib itu. Hanya 1/3 lahan saja yang ditanami padi. Tentunya keuntungan dari tanaman wajib itu masuk kepada kantong pribadi para pejabat kala itu. Anehnya, pemerintahan Belanda juga membiarkan praktek ini, karena mereka juga membutuhkan dukungan dari para pejabat lokal tersebut. Dengan system tanam paksa yang diplesetkan ini, akibatnya supplay bahan makanan sangat minim karena jatah lahan tanaman pangan berkurang . Dari sinilah kemudian muncul wabah penyakit kelaparan dan busung lapar.
System tanam paksa kemudian diganti system liberal. Dalam system leberal ini, Pemerintah Hindia Belanda menjalankan system sewa tanah. Namun ternyata kondisi tidak banyak berubah. Bahkan malah semakin korup! Hasil system sewa tersebut bukannya untuk menaikkan kesejahteraan pegawai menengah ke bawah tapi malah semakin memperkaya pejabat tingginya. Gaji seorang pangreh praja rendahan seperti camat, wedana, dll tetaplah kecil. Sedangkan mereka sudah terbiasa menyandang status sosial yang tinggi, sebagai golongan Priyayi. Ditengarai para Priyayi ini akhirnya memungut upeti-upeti yang tidak resmi dari rakyat untuk membiayai gaya hidup mereka. Para Bupati dan Patih saat itu sudah terbiasa melakukan praktek upeti ini. Para pemungut pajak di Jawa (bekel) memungut pajak ke rakyat 20 kali lipat yang seharusnya disetorkan kepada atasan mereka.

Seperti biasa, kondisi ini dengan jelas diketahui oleh pemerintah saat itu dan dibiarkan terus berjalan. Alasannya, pemerintah Hindia Belanda saat itu menginginkan dukungan politik dari mereka. (sama gak dengan kondisi kita yang sekarang? Semoga berbeda...)

Beralih dari Belanda, bangsa kita kedatangan 'saudara tua', bangsa penjajah dari negeri Sakura Jepang. Hampir seperti pada jaman kerajaan, pada jaman Jepang disebutkan korupsi juga merajalela, namun teknis korupsinya bagaimana jujur saya tidak/belum dapat literasinya. Yang jelas saat itu perekonomian carut marut karena semua difokuskan kepada pemenangan Jepang atas perang dunia saat itu.

Pasca kemerdekaan, bangsa kita masih terlihat 'bersih' hingga tahun 50an, karena pada saat itu masih tebal jiwa idealisme para pahlawan revolusi kita. Namun, setelah itu, jaman Order Lama, Order Baru (yang lama), pemerintahan Habibie, Megawati, dan sekarang SBY, bangsa kita masih harus bersabar mencium aroma praktek - praktek korupsi itu. Saya tidak akan menulis satu persatu praktek-praktek itu, karena bisa habis halaman blog ini untuk menulis praktek korupsi itu.
Yang jelas, sejak dari tukang parkir, pegawai POM Bensin, kernet Bus Kota, pegawai timbangan jalan raya, hingga para pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif kita masih perlu banyak belajar bagaimana bekerja sesuai jatah dan amanahnya. Tentunya jangan belajar dari para wedana, camat dan bupati jaman Belanda itu lho ya....
Atau jangan-jangan... dalam seni korupsi, kemampuan bangsa kita sekarang ini malah lebih halus, lebih cantik dan lebih smart lagi dibanding para leluhurnya??? Wallahu alam bishowab.

Nuwun.

Sabtu, 07 November 2009

Kebanggaan itu.....


Tiga hari yang sebelum penugasan ke Bali, saya mengalami peristiwa yang sangat mengharukan. Sebuah penghargaan yang tulus, alami, tidak dibuat buat, yang tergambar dari tingkah laku seorang anak.

Ceritanya, sekolah tempat anak pertamaku, si Pascal, belajar saat itu mengadakan program pembagian koran JawaPos+Radar Jember gratis kepada seluruh siswanya. Saat menerima koran gratis itu si Pascal dengan riang gembira dan bangganya melambai - lambaikan koran sambil berteriak "Ini lho bikinan ayahku!". Satu per satu, semua teman di kelasnya diberitahu bahwa koran yang dipegang oleh teman-temannya itu adalah koran bikinan ayahnya. Tidak cukup hanya itu, saat perjalanan pulang sekolah, sepanjang jalan dari sekolah ke rumah dia sapa teman sekolahnya yang kebetulan berpapasan dengannya sambil 'kampanye', "Itu koran bikinan ayahku!"

Saat itu Ibunya yang menjemput sengaja membiarkan tingkah yang sedikit 'norak' ini, karena Ibunya berpikir bahwa si anak ini sedang ikut merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai bagian dari keluarga besar JawaPos, keluarga Temprina Media Grafika. Kebanggaan seorang anak kepada koran yang dia kenal sebagai koran hasil cetakan, jerih payah dan tetesan keringat ayahnya. Koran yang membuat si anak ini setiap malam harus ditinggal ayahnya untuk inspeksi ke kantor. Koran yang membuat dirinya tiap bulan ditinggal ke Bali selama 2 minggu untuk menunaikan 'tugas negara' menjaga agar tetap terbit di tiap harinya. Koran yang tiap akhir bulan saat ayahnya gajian bisa 'membawanya' ke TimeZone. Koran yang memberinya sepatu baru beberapa hari yang lalu saat ayahnya menerima bonus karena jerih payah dan kerja kerasnya...

Sungguh kejadian seperti inilah yang menjadi jawaban atas Rahasia Allah yang telah menunjukkan dalam istikharah saya untuk memilih bekerja di TMG. Sejak saya lulus dari ITS hingga sekarang, hampir 9 tahun lamanya tetap keukeuh bekerja di TMG karena saya sangat yakin akan petunjuk itu. Dan kebanggaan itu sudah cukup bagi saya sebagai pembuktiannya...

Matur nuwun Gusti....

Jumat, 06 November 2009

Kipas Angin


Saya sudah dua tahun ini tinggal di sebuah kota di wilayah Tapal Kuda bagian Timur pulau Jawa. Kota yang terkenal dengan perkebunan tembakau, yang menyuplai bahan baku cerutu kelas satu di seluruh penjuru dunia. Di kota ini banyak lahir ide-ide besar kelas dunia yang membawa harum nama bangsa kita. Salah satunya adalah Jember Fashion Carnaval (JFC) yang diadakan setiap tahun dan kemudian memberikan inspirasi kepada daerah lain untuk turut mengadakan event yang sama.

Namun di sini saya akan mengulas sisi lain kota Jember yang tidak kalah menariknya, karena ulasan dan sorotan atas JFC sudah banyak yang menyampaikannya.

Sebagai kota kabupaten, Jember telah menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarahnya dengan beroperasi Bandara pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 2008 yang lalu. Bandara itu bernama Bandara Notohadinegoro (mirip namaku Ardi Nugroho.... hehehe... Maksa ya?).

Dengan pesawat tipe LET 410 berkapasitas 19 penumpang, perjalanan Surabaya-Jember dapat dicapai dalam waktu 30menit saja. Bandingkan dengan perjalanan darat yang membutuhkan waktu tempuh 5 jam (300 menit), yang berarti perjalanan udara 10 kali lebih cepat dibanding perjalanan darat!

Tentunya, ini menjadi sebuah kebanggaan seluruh warga Jember, baik yang asli Jember maupun pendatang seperti saya ini. Dengan adanya alat transportasi cepat ini, maka akses ke ibukota propinsi, Surabaya, akan semakin mudah. Secara hitungan logis, maka segala lini kehidupan di daerah kami akan segera berkembang dengan pesat.

Alkisah, saya mempunyai kesempatan untuk turut merasakan 'kecanggihan' alat transportasi ini. Kebetulan saya duduk di bangku paling belakang, bersandingan dengan seorang petani tembakau yang sukses asal Jember. Saya mulai berkenalan dengannya saat masih di luar pesawat, saat berada di ruang tunggu keberangkatan. Sejak awal memang dapat rasakan bahwa bapak petani tembakau ini sangat antusias dengan 'wahana' transportasi milik kota tercinta ini. Berulang kali dia menanyakan dari hal-hal besar hingga hal-hal kecil yang terkadang saya sendiri juga tidak menyangka akan ditanyakan...hehehe...

Singkat cerita, penerbangan sudah kita lewati bersama sekitar 15 menit. Tanpa disadari, pesawat yang kita tumpangi itu mengalami gangguan kecil. Ruangan dalam pesawat jadi begitu panasnya karena AC tidak dapat diaktifkan. Semua penumpang sudah mulai gelisah, karena keringat mereka bercucuran menahan panasnya ruangan. Ada yang sudah mulai mencari berbagai macam alat untuk kipas-kipas dan ada pula yang sudah mulai melepas kancing atas bajunya satu per satu. Kesimpulannya, saat itu sudah tidak bisa lagi kita bedakan apakah ini pesawat atau mobil angkot!

Di tengah kegelisahan para penumpang itu, Bapak yang duduk di sampingku menggerutu dan berteriak dengan logat khas Madura, "De remmah (bagaimana ini) sampiyan pak pilot! Suddah tau yang nas pannas ndek dallam, kenapa kipas angin itu malah di taruh ndek luar???" Sambil menunjuk baling-baling di sayap pesawat.....

Kontan suasana yang gelisah itu jadi ceria seketika :)

Piisss.....

Ratapan Hati Si Kodok


Sore itu hujan rintik rintik. Tanah yang telah lama kering kembali basah disiram air hujan yang jatuh dari langit. Aroma tanah basah semerbak menyegarkan suasana. Angin sepoi-sepoi turut menambah suasana sore itu menjadi semakin segar.

Pandangan mataku menerawang keluar jendela yang terbuka. Tampak olehku tetesan bulir bulir jernih air hujan yang berkilau tertimpa cahaya jingga sore itu.

Tak terasa pandanganku jatuh pada sesuatu berwarna abu-abu sebesar kepalan tangan anakku. Sekilas tampak seperti batu, namun ada sesuatu yang 'aneh' di mataku karena ternyata 'batu' itu bergerak! Kuamati dan kudekati 'batu' itu, dan ternyata 'batu' itu adalah seekor kodok yang sedang merasakan kesendiriannya di tengah hujan yang terus menyiram tubuhnya.

Kupanggil anak keduaku, si Nyiur, untuk kuajak bersama melihat binatang kodok mungil itu. "Lihat Nyiur, kodoknya sendirian hujan - hujanan !" ajakku pada anak perempuanku yang sekarang sedang senang-senangnya 'sekolah' di PlayGroup itu.

Sambil mengamati dari jauh karena masih takut-takut dekat dengan kodok itu, dengan lirih si Nyiur berkata "Yah... kasihan ya kodoknya...." Matanya menatap tajam kepada kodok dan meneruskan perkataannya "Kasihan kodok itu, sendirian.... Ayahnya kerja di kantor dan ibunya kerja di Rumah Sakit...."

Kalimatnya terakhir ini seakan mendatangkan sambaran petir yang menggelegar di telingaku. Kata-katanya begitu jujur, asli, original keluar dari mulut seorang anak yang memang setiap harinya harus ditinggal ayahnya kerja di kantor dan ibunya yang masih wira-wiri ke Rumah Sakit untuk menyampaikan lamaran untuk jadi dokter.

Akankah kodok itu kamu, anakku ? Sesedih itukah rasanya saat kamu kutinggal di rumah ?

Termenung aku di senja kala itu. Kutatap kodok mungil basah di taman rumah. Kutatap dalam dalam mata si 'kodok' kecilku yang baru saja mengingatkanku akan waktu-waktu bersamanya yang hilang karena kesibukanku....

Selasa, 03 November 2009

Titik Nol


Sebenarnya titik adalah sebuah wujud yang imaginer yang hanya dapat didekati dan diperlambangkan. Tak satupun orang bisa memvisualisasikannya dengan benar, sebab untuk menggambarkan lingkaran dengan jari-jari nol adalah sebuah hal yang mustahil.

Namun dia ada ! Bahkan semua pergerakan materi berawal darinya. Coba bayangkan seandainya saat ini kita tidak mengenal wujud titik itu....

Seberapa panjang perjalanan yang kita tempuh. Seberapa jauh jarak yang akan kita capai. Seberapa besar langkah yang akan kita lakukan. Pastilah kita memulainya dari sini.... Dari titik nol ini.

Titik nol dapat diartikan sebagai sebuah posisi awal. Titik nol kondisi di mana kita hanya mengetahui tentang diri kita tanpa adanya embel-embel apapun yang menyertainya. Titik nol juga berarti kondisi di mana kita merasakan bahwa kita tak punya suatu apapun. Sebuah kondisi original, asli, kosong, suwung......

Dengan dasar inilah blog ini saya awali. Atas dasar pengen mengawali langkahku dengan melepas segala 'ornamen' dan 'aksesoris' keduniawian yang mengembalikanku pada keaslian/originalitas/fitrahku bahwa pada dasarnya semua ini adalah kosong dan.....

Suwung....

Welcome to my world....